KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang dalam saya sampaikan ke hadiran Tuhan
Yang Maha Pemurah, karena berkat kemurahan-Nya makalah ini dapat saya selesaikan
sesuai yang diharapkan. Dalam makalah ini saya membahas mengenai “Apakah Orang
Berilmu Lebih Mulia dari Orang Berakhlak”.
Dimana tujuan saya membuat makalah berisikan tema
tersebut adalah untuk memperdalam tentang pengertian dan perbedaan antara orang
yang berilmu dan orang yang berakhlak, apakah orang yang berilmu lebih mulia
dari orang berakhlak?. Dimana makalah ini menjadi tugas saya sebagai mahasiswa
yang mengikuti mata kuliah Akhlak dan Etika.
Demikian makalah ini saya buat semoga bermanfaat
kedepannya.
ISI
A. Pengertian Ilmu
Ilmu, sains, atau ilmu
pengetahuan (Inggris: science; Arab: العِلْـمُ) adalah usaha-usaha sadar
untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari
berbagai segi kenyataan dalam alam manusia[1].
Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu
memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian
ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.[2]
Ilmu
bukan sekadar pengetahuan (knowledge),
tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati
dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang
diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu
terbentuk karena manusia berusaha berpikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang
dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi,
dengan kata lain ilmu terbentuk dari 3 cabang filsafat yakni ontologi,
epistemologi dan aksiologi, jika ketiga cabang itu terpenuhi berarti sah dan
diakui sebagai sebuah ilmu.
B.
Tanda-Tanda Orang
Berilmu
Berilmu atau tidaknya seseorang
dalam kacamata Islam tidak dilihat dari segi banyak atau luas wawasan, tapi
dilihat dari sifat atau tingkah lakunya. Apakah ilmu yang dimilikinya sesuai
degan akhlaknya? Sudahkan ilmu yang digandrunginya mampu mengubah dirinya
menjadi pribadi ahli ilmu?
Berikut ini sifat yang semestinya dimiliki oleh orang yang berilmu.
1.
Bertanggung Jawab
Tanggung jawab yang dimaksud adalah
menjaga ilmu yang sudah dianugerahkan sesuai dengan ketentuan syari’at. Salah
satu tanggung jawab yang dibebankan syari’at adalah menjaga ilmu yang telah
dimiliki agar tidak hilang. Yaitu dengan cara megulang-ngulang dan
mengamalkannya.
2.
Tidak
Menyembunyikan Ilmu
Menyembunyikan ilmu bemakna tidak
mau mentransfer ilmu tersebut kepada orang yang membutuhkan. Menyembunyikan
sesuatu dengan menutup-nutupinya, menghilangkannya, atau meletakkan objek lain
pada sesuatu yang dihilangkannya itu.
Menyembunyikan ilmu terealisasi
ketika seseorang datang kepada kita untuk menanyakan sebuah hukum atau sebuah
solusi dari sebuah permasalahan, tapi kita tidak melayani orang tersebut.
Ataupun pura-pura tidak tahu solusi atau jawabannya.
“Sesungguhnya orang-orang yang
menyembunyikan apa yang elah kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang
jelas) dan petunjuk, setelah kami menerangkkannya kepada manusia dalam
Al-Kitab, mereka dilaknan Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang
dapat melaknati. (QS. Al-Baqarah [2]: 159).
Islam melarang penyembunyian ilmu
sebab akan menjadi musibah bagi diri sendiri dan musibah bagi orang lain.
3.
Tawadu
Tawadu
(rendah hati) adalah sifat yang sangat terpuji, Al-Qur’an sendiri telah
mengangkat derajat orang-orang yang berlaku tawadu, sebagaimana dalam firman
Allah Swt.;“dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu,
yaitu orang-orang yang beriman.” (QS. As-Syu’ara’ [26]:215)
C.
Keutamaan Berilmu
Dalam Islam
Manusia diciptakan dengan segala
kesempurnaannya, dan Allah telah memberikan akal yang sehat pada manusia untuk
membedakannya dengan makhluk hidup lainnya. Dan dengan akal tersebut manusia
diwajibkan untuk mencari ilmu pengetahuan dan memiliki ilmu pengetahuan dalam
segala hal agar tidak tersesat dalam menjalani kehidupan. Ilmu pengetahuan
ibarat sebuah cahaya yang akan menuntun manusia hingga mencapai tujuan penciptaan manusia menurut Islam.
Ilmu pengetahuan merupakan salah
satu bekal abadi bagi manusia untuk mencapai sukses dunia akhirat menurut Islam. Ilmu adalah pengetahuan atau
kepandaian yang dimiliki seseorang, baik mengenai soal duniawi, akhirat, lahir,
batin dan lainnya.
Hukum menuntut ilmu dalam Islam adalah wajib. Seperti yang
dikatakan dalam sebuah hadits:
“Menuntut ilmu wajib atas
setiap muslim (baik muslimin ataupun muslimah).” (HR. Ibnu Majah)
Bagi seorang muslim ilmu pengetahuan
sangatlah penting, karena di dalam Islam, orang yang berilmu akan diangkat
derajatnya dan dihormati. Ada beberapa keutamaan berilmu dalam Islam yang
perlu di ketahui oleh seorang muslim.
D.
Keutamaan Berilmu
Menurut Islam dan Dalilnya
Allah SWT. telah menjelaskan
keutamaan orang-orang yang berilmu dalam Islam melalui ayat-ayat Al-Qur’an dan
hadits-hadits sebagai sumber pokok ajaran Islam. Dan diantara keutamaan-keutamaan
berilmu tersebut, berikut ada delapan keutamaan berilmu menurut Islam :
a) Orang
berilmu akan dimudahkan jalan menuju surga
Dalam
sebuah hadits, Rasulullah SAW. bersabda :
“Barang
siapa yang menempuh perjalanan untuk mencari ilmu, maka akan Allah mudahkan
jalannya menuju surga.” (HR. Muslim)
Maksud
dari hadits tersebut adalah, orang-orang muslim yang berilmu akan dimudahkan
oleh Allah dalam menuju surga dikarenakan dengan Ilmu orang muslim dapat
beribadah dengan benar dan sesuai dasar hukum Islam. Dari hadits tersebut dapat kita lihat, bahwa ilmu
sangatlah penting bagi umat muslim dan memiliki manfaat dalam kehidupan dunia
akhirat.
b) Orang
berilmu akan memiliki pahala yang mengalir
Dari
Abu Hurairah, Rasulullah SAW. bersabda :
“Jika
seseorang meninggal dunia maka terputuslah segala amalnya, kecuali tiga hal.
Sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan do’a anak yang sholeh atau
sholehah.” (HR.
Muslim)
Maksud
dari hadits tersebut adalah, ilmu yang mengandung kebaikan yang diajarkan oleh
seseorang kepada orang lain, kelak ilmu itu akan memberikan pahala yang
mengalir kepada orang yang mengajarkan ketika ia sudah meninggal dunia.
c) Orang yang
paling takut kepada Allah SWT. adalah orang yang berilmu
Dalam
(QS. Fathir : 28), Allah berfirman :
“Dan
demikian pula diantara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa, dan hewan-hewan
ternak ada yang bermacam-macam warnanya dan jenisnya. Di antara hamba-hamba
Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama. Sungguh, Allah Maha Perkasa,
Maha Pengampun.”
Yang
dimaksud ulama dalam ayat tersebut adalah mereka yang mengetahui dan mengakui
kebesaran Allah dan kekuasaan-Nya. Dengan ilmu seseorang akan lebih memahami
hakikat diciptakannya kehidupan ini dan dari pengetahuan tersebut seseorang
akan melihat kuasa dan kebesaran Allah sebagai zat yang maha pencipta,, dan
orang berilmu akan merasa takut karena dia memiliki pengetahuan akan kuasa dan
kebesaran Allah SWT.
d) Allah SWT.
akan mengangkat derajat orang yang berilmu
Di
dalam (QS. Al-Mujadilah[11] : 58), Allah SWT. berfirman :
“Wahai
orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, “Berilah kelapangan di
dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi
kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kamu,” maka berdirilah,
niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu
dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui
terhadap apa yang kamu kerjakan.”
Dalam
ayat tersebut dikatakan bahwa Allah telah menjanjikan akan meninggikan derajat
orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu. Dan derajat orang yang
berilmu akan terangkat, baik di hadapan Allah SWT. ataupun dimata manusia.
e) Orang yang
berilmu adalah orang yang diberi kebaikan dan karunia oleh Allah
Dalam
(HR. Bukhari dan Muslim) dari Mu’awiyah, Rasulullah SAW. bersabda :
“Barang
siapa yang Allah kehendaki mendapatkan semua kebaikan, niscaya Allah akan
memahamkan dia tentang ilmu agama.”
Dan
dalam (QS. Al-Baqarah[2] : 269), Allah SWT. berfirman :
“Allah
berikan Al-Hikmah (Ilmu pengetahuan, hukum, filsafat dan kearifan) kepada siapa
saja yang dia kehendaki. Dan barang siapa yang di anugerahi Al-Hikmah itu,
sungguh ia telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang
berakallah yang dapat mengambil pelajaran(berdzikir) dari firman-firman Allah.”
f) Orang
berilmu mewarisi kekayaan Nabi
Dalam
Shahihul Jam Al Albani dikatakan : “Ilmu adalah warisan para Nabi,
dan para Nabi tidaklah mewariskan dirham ataupun emas, akan tetapi mereka
mewariskan ilmu. Barang siapa yang mengambilnya maka ia telah mengambil bagian
yang banyak.”
Maksudnya
adalah, ilmu merupakan warisan Nabi dan barangsiapa yang mecari ilmu dan
menjadi orang yang berilmu maka kita telah mewarisi apa yang para Nabi berikan.
g) Orang yang
berilmu disejajarkan dengan para Malaikat
Dalam
(QS. Ali Imran : 18), Allah berfirman :
“Allah
menyatakan bahwasannya tidak ada Tuhan (yangberhak disembah) melainkan Dia,
Yang menegakan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga
menyatakan yang demikian itu).”
Dari
ayat tersebut dapat diketahui bahwa kedudukan orang yang berilmu setara dengan
para Malaikat yang bersaksi bahwa tiada Tuhan yang layak disembah selain Allah
SWT.
h) Orang yang
berilmu berbeda dengan orang yang tidak berilmu
Dalam
(QS. Az-Zumar : 9), Allah berfirman :
“Apakah
kamu orang musyrik yang lebih beruntung ataukah orang yang beribadah pada waktu
malam dengan sujud dan berdiri, karena takut kepada azab akhirat dan
mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” sebenarnya hanya orang
yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran
Dari
beberapa dalil diatas dapat disimpulkan bahwa Islam dan ilmu pengetahuan memiliki keterkaitan dan Islam
menyuruh umatnya untuk menuntut ilmu untuk semakin taat kepada Allah SWT.
E.
Pengertian Akhlak, Macam-Macam Akhlak dan Dalil Tentang
Akhlak
Berakhlak dengan akhlak yang
disyariatkan dalam Islam diantaranya; jujur, amanah, bertanggung jawab, menjaga
kesucian, malu, berani, darmawan, menepati janji, menjauhi semua yang
diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, berbuat baik kepada tetangga,
membantu orang yang membutuhkan sesuai kemampuan, dan selainnya dari
akhlak-akhlak yang tertera dalam Al-Qur’an dan sunnah yang dijelaskan tentang
disyariatkannya akhlak-akhlak tersebut.
Akhlak yang baik adalah tanda
kebahagiaan seseorang di dunia dan di akhirat. Tidaklah kebaikan-kebaikan
datang atau didapatkan di dunia dan di akhirat kecuali dengan berakhlak dengan
akhlak yang baik. Dan tidaklah keburukan-keburukan ditolak kecuali dengan cara
berakhlak dengan akhlak yang baik.
Maka kedudukan akhlak dalam agama ini
sangat tinggi sekali. Bahkan Nabi kita Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika
ditanya tentang apa yang paling banyak memasukkan seseorang ke dalam surga,
beliau mengatakan:
تَقْوى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ
“Bertaqwa kepada Allah dan berakhlak dengan akhlak yang baik.” (HR.
Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah)
Juga beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ مِنْ أَحِبِّكُمْ إِلَيَّ
وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحْسَنُكُمْ أَخْلَاقًا
“Sesungguhnya di antara orang-orang yang paling aku cintai dan paling
dekat tempat duduknya pada hari kiamat denganku yaitu orang-orang yang paling
baik akhlaknya.” (HR. Tirmidzi)
Juga Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ
الْأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” (HR.
Ahmad, Bukhari)
Dan dahulu Nabi kita ‘Alaihish Shalatu was Salam
adalah manusia yang paling baik akhlaknya, paling sempurna adabnya, paling baik
pergaulannya, paling indah muamalahnya, semoga shalawat dan salam senantiasa
tercurahkan kepada beliau. Beliau adalah contoh bagi seluruh hamba dalam segala
akhlak yang baik, segala adab yang indah dan segala muamalah yang baik. Allah
‘Azza wa Jalla berfirman:
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ
اللَّـهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّـهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ
وَذَكَرَ اللَّـهَ كَثِيرًا ﴿٢١﴾
“Sesungguhnya telah ada pada
diri Rasulullah bagi kalian contoh yang baik bagi orang yang mengharap
pertemuan dengan Allah dan hari akhir dan mengingat Allah dengan dzikir
yang banyak.” (QS. Al-Ahzab[33]: 21)
Akhlak yang bermanfaat adalah akhlak
yang dilakukan seseorang dengan mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wa
Ta’ala agar ia mendapatkan surga dan derajat yang tinggi di akhirat nanti.
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ
اللَّـهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا ﴿٩﴾
“Sesungguhnya kami memberi
makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak
menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.”
(QS. Al-Insan[76]: 9)
Bukan seorang yang berakhlak tapi mengharapkan balasan
di dunia. Oleh karena itu Nabi kita ‘Alaihish Shalatu was Salam pernah
bersabda:
لَيْسَ الوَاصِلُ بِالمُكَافِئِ
“Bukanlah orang yang menyambung silaturahmi jika sekedar membalas
orang lain.” (HR. Bukhari)
Adapun orang-orang yang bergaul dengan manusia dengan
akhlak yang baik akan tetapi dengan tujuan dunia, dia tidak akan mendapatkan
dari dunianya kecuali apa yang telah dituliskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
untuknya. Dan dia tidak akan mendapatkan balasan di akhirat. Bahkan dia akan
menemukan hal yang buruk disebabkan dia hanya menginginkan balasan dari orang
lain. Karena diantara manusia banyak yang tidak mampu untuk membalas kebaikan
bahkan tidak mampu membalas kebaikan dengan kebaikan. Diantara mereka ada yang
akhlaknya sangat buruk. Apabila seseorang berbuat baik kepadanya, sebaliknya
dia berbuat buruk kepada orang tersebut. Seorang yang baik adalah orang
yang tidak menunggu balasan dari manusia jika dia berbuat baik kepada mereka.
Akan tapi dia hanya mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Oleh karena itu hadits-hadits yang menjelaskan atau
menganjurkan untuk berakhlak dengan akhlak yang baik menyebutkan balasan akhlak
tersebut akan didapatkan pada hari kiamat. Yaitu dengan dimasukkannya ke dalam
surga atau mendapatkan derajat yang tinggi di akhirat nanti. Dan semakin baik
akhlak seseorang karena ia mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala,
maka akan semakin besar balasan dan pahala yang akan dia dapatkan dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
Maka apabila seorang berakhlak tidak mengharapkan
pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala akan tetapi hanya mengharapkan
tujuan-tujuan dunia, amalan tersebut tidak termasuk dalam amal shalih yang dia
lakukan. Karena diantara syarat diterimanya suatu amalan adalah seorang
mengharapkan balasan dan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Intinya, bahwasanya akhlak mempunyai kedudukan yang
sangat tinggi di agama kita dan Syaikh bin Baz Rahimahullah dalam kitab ini
hanya ini menyebutkan sebagian dari akhlak-akhlak yang baik yang sebaiknya atau
seharusnya seorang Muslim bersifat dengan akhlak-akhlak tersebut.
F.
Akhlak-Akhlak
yang disyariatkan dalam Islam
1.
JUJUR
Beliau mengatakan bahwa diantaranya adalah jujur. Jujur adalah salah
satu akhlak yang paling agung dalam Islam. Dan disebutkan dalam banyak ayat
keutamaan orang-orang yang jujur. Diantaranya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
اتَّقُوا اللَّـهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ ﴿١١٩﴾
“Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan
jadilah kalian bersama dengan orang-orang yang jujur.” (QS. At-Taubah[9]: 119)
Juga
dalam hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beliau bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ، فَإِنَّ
الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ،
وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ، وَيَتَحَرَّى
الصِّدْقَ، حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا
“Hendaklah kalian selalu jujur karena kejujuran menghantarkan kepada
kebaikan dan sesungguhnya kebaikan mengantarkan kepada surga dan senantiasa
seorang berjujur dan berusaha untuk jujur sampai ditulis di sisi Allah sebagai
orang yang sangat jujur.”
Dan kejujuran yang paling tinggi kedudukannya adalah kejujuran dengan
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا
مَا عَاهَدُوا اللَّـهَ عَلَيْهِ
“Di antara orang-orang beriman
ada orang-orang yang mereka jujur melaksanakan apa yang mereka janjikan kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (QS. Al-Ahzab[33]: 23)
Dia jujur kepada Allah dalam
tauhidnya, dalam imannya, dalam ibadahnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Nabi kita ‘Alaihish Shalatu was Salam bersabda:
مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ
إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ صِدْقًا
مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى
النَّارِ
“Tidaklah seorang menyaksikan bahwasanya tidak ada
Ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan
Allah jujur dari hatinya kecuali Allah mengharamkan atasnya neraka.” (HR. Bukhari)
Yang dimaksud dengan jujur yaitu sesuai apa yang
diucapkan dengan dengan apa yang ada di dalam hati. Ketika seseorang
mengucapkan dengan lisannya, maka hal tersebut sesuai dengan apa yang ada di
hatinya. Adapun jika berbeda antara yang dia tampakkan dan dia sembunyikan,
maka ini adalah kemunafikan. Dan kemunafikan bisa jadi kemunafikan yang besar
atau juga kemunafikan yang kecil tergantung dengan perbedaan antara yang dia
tampakkan dan dia sembunyikan. Jika dia menampakkan keimanan dan menyembunyikan
kekufuran, maka ia adalah kemunafikan yang besar. Namun apabila dia menampakan
bahwasanya ia menepati janji akan tetapi ia menyembunyikan kebohongan atau
menyembunyikan khianat, maka ini termasuk nifaq asghar. Nabi kita ‘Alaihish
Shalatu was Salam pernah bersabda:
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا
حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda-tanda kemunafikan ada tiga; jika ia berbicara
ia berdusta, jika ia berjanji ia mengingkari dan apabila dia diberi amanah ia
berkhianat.” (HR. Bukhari, Muslim)
Jika kebohongan adalah tanda-tanda kemunafikan, maka
kejujuran adalah tanda-tanda keimanan.
Maka wajib bagi setiap Muslim untuk menjadi orang yang
jujur dan hendaklah kejujuran itu menjadi sifat yang selalu berada pada dirinya
agar ia mendapatkan janji Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Allah janjikan kepada
hamba-hambaNya yang selalu berbuat jujur.
2.
AMANAH
Berkata Syaikh bin Baz Rahimahullah bahwa diantara
akhlak yang disyariatkan dalam Islam yaitu amanah -bertanggung jawab-. Amanah
mempunyai kedudukan yang sangat tinggi di agama kita. Allah ‘Azza wa Jalla
menawarkan amanah tersebut kepada langit dan bumi. Maka semuanya merasa
khawatir untuk memikulnya dikarenakan besarnya perkara itu. Allah berfirman:
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ
أَن يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا
وَحَمَلَهَا الْإِنسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا ﴿٧٢﴾
“Sesungguhnya Kami telah
menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk
memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah
amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh,”
(QS. Al-Ahzab[33]: 73)
Makna dari amanah secara umum adalah mencakup seluruh
perkara agama. Karena Allah ‘Azza wa Jalla telah menciptakan hamba-hambaNya
agar mereka beribadah kepadaNya dan Allah menciptakan mereka agar mereka taat
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan amanah ini wajib dilakukan oleh setiap
manusia, wajib untuk dijaga, wajib untuk diperhatikan. Dan manusia terbagi
menjadi tiga bagian dalam memikul amanah ini. Allah ‘Azza wa Jalla menjelaskan
dalam lanjutan ayat tadi:
لِّيُعَذِّبَ اللَّـهُ الْمُنَافِقِينَ
وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ وَيَتُوبَ
اللَّـهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
ۗ وَكَانَ اللَّـهُ غَفُورًا رَّحِيمًا ﴿٧٣﴾
“sehingga Allah mengazab
orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrikin laki-laki
dan perempuan; dan sehingga Allah menerima taubat orang-orang mukmin laki-laki dan
perempuan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. Al-Ahzab[33]: 74)
Tiga bagian tersebut adalah:
Ø
orang yang mengaku menjaga amanah dalam apa yang
mereka tampakkan akan tetapi mereka menyembunyikan kemunafikan
Ø
orang-orang yang menyia-nyiakan amanah secara
lahir maupun batin, baik ia nampakkan maupun ia sembunyikan. Dan mereka adalah
orang-orang musyrik
Ø
orang-orang yang menjaga amanah secara lahir dan
batin baik ketika sembunyi maupun ketika kelihatan dan mereka adalah orang-orang
yang beriman.
Diantara bentuk amanah adalah menjaga hak-hak hamba
Allah Subhanahu wa Ta’ala, menepati janji mereka, dan hal-hal yang lain.
Kemudian, panca indra manusia semuanya adalah amanah dari Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Allah akan bertanya tentang panca indera tersebut pada hari kiamat.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ
وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَـٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا ﴿٣٦﴾
“Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semua akan ditanya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
(QS. Al-Isra'[17]: 36)
Harta juga adalah amanah yang akan ditanyakan pada
hari kiamat nanti. Anak-anak adalah amanah. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تَخُونُوا اللَّـهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا
أَمَانَاتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿٢٧﴾
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ
وَأَنَّ اللَّـهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ ﴿٢٨﴾
“Wahai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengkhianati Allah dan RasulNya dan janganlah kamu mengkhianati
amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui. Dan
ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan
sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS.
An-Anfal[8]: 28)
Yaitu anak-anak adalah ujian dan cobaan, apakah
seorang Muslim menunaikan amanah yang dibebankan kepadanya dari harta, dari
anak dan selainnya? Maka diantara akhlak yang sempurna dari seorang Muslim
yaitu menjaga amanah, memperhatikan dan tidak menyia-nyiakannya sedikitpun.
3.
MENJAGA KESUCIAN
Menjaga kesucian yaitu dengan cara meninggalkan yang
diharamkan, menjaga diri dari perbuatan dosa-dosa dan maksiat. Allah ‘Azza wa
Jalla berfirman:
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا
يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغْنِيَهُمُ اللَّـهُ مِن فَضْلِهِ
“Hendaklah menjaga diri
orang-orang yang belum mampu untuk menikah sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala
memberikan karunia kepadanya.” (QS. An-Nur[24]: 33)
Dan barangsiapa yang belum mampu untuk menikah
hendaklah dia menjaga kesuciannya dan menjauhi perbuatan-perbuatan haram dengan
niat ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan karena bertakwa kepadaNya.
Adapun orang-orang yang tidak mempunyai harta maka hendaklah ia menjaga
kesuciannya dan tidak meminta-minta kepada manusia. Dalam hadits disebutkan
bahwa:
وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ
“Barangsiapa yang menjaga kesuciannya maka Allah kan
mensucikanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
4.
MALU
Malu adalah akhlak yang sangat agung dan sifat yang
sangat mulia yang hendaknya seseorang berakhlak dengan akhlak ini. Dan apabila
seorang berakhlak dengan akhlak ini, akhlak ini akan menghalanginya dari
seluruh perbuatan-perbuatan yang buruk dan mengantarnya kepada
perbuatan-perbuatan yang baik. Karena sifat malu seluruhnya adalah kebaikan dan
tidak akan mendatangkan kecuali kebaikan. Sebaliknya, apabila sifat malu ini
hilang dari seseorang, maka kebaikan akan meninggalkannya dan dia tidak akan
malu untuk melakukan keburukan apapun.
إنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ
كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى: إذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْت
“Sesungguhnya diantara perkataan nubuwwah yang
didapatkan oleh manusia yaitu: Jika engkau tidak malu maka kerjakan apa saja
yang engkau inginkan.” (HR. Bukhari)
Dan sifat malu yang paling tinggi kedudukannya yaitu
malu kepada Rabbul Alamin (Tuhan semesta alam), pencipta seluruh makhluk. Dan
diantara sifat malu yaitu malu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, malu ketika
kita melakukan apa yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka setiap
waktu seseorang hendaknya merasa malu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak
melakukan sesuatu yang diharamkan, tidak melakukan perbuatan dosa karena malu
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Allah Maha Melihat, tidak ada yang
luput dari penglihatan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seorang penyair mengatakan:
إِذا خَلَوتَ الدَهرَ يَوماً فَلا
تَقُل. خَلَوتُ وَلَكِن قُل عَلَيَّ رَقيبُ.
“Jika suatu hari engkau sendirian maka janganlah
mengatakan aku sedang sendirian. Akan tetapi katakanlah bahwasanya ada yang
mengawasiku.”
Diantara bentuk malu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
adalah seorang menjaga anggota badannya, menjaga panca inderanya, menjaga
perutnya dari memasukkan ke dalam perutnya hal-hal yang diharamkan oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Dalam hadits disebutkan:
وَلَكِنَّ الاِسْتِحْيَاءَ
مِنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَتَحْفَظَ
الْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَتَتَذَكَّرَ الْمَوْتَ وَالْبِلَى وَمَنْ أَرَادَ
الآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا
“Sungguhnya malu yang benar kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala yaitu engkau menjaga kepala dan apa yang ada dalam isi kepala tersebut,
menjaga perut dan apa yang ada dalam isi perut tersebut, mengingat kematian dan
barangsiapa yang mengharapkan akhirat adalah ia meninggalkan perhiasan dunia.”
(HR. Ahmad, Tirmidzi)
Dan juga termasuk malu kepada sesama makhluk yaitu
meninggalkan muamalah-muamalah yang buruk, perbuatan-perbuatan yang buruk,
akhlak-akhlak yang tercela, karena semua hal tersebut bertentangan dengan sifat
malu yang baik.
5.
BERANI
Berani dalam tempatnya yang benar
adalah kemuliaan dan kesuksesan. Adapun keberanian yang bukan pada tempatnya,
itu adalah sifat ngawur dan kehancuran. Dan
keberanian seorang Mukmin muncul dari keimanan dan keyakinannya kepada Allah
‘Azza wa Jalla serta kekuatan tawakkalnya kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala. Dia
tidak takut kecuali kepada Allah, tidak meminta kemuliaan kecuali dari Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Berkat Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah
bahwa keberanian akan membawa seseorang kepada akhlak-akhlak yang mulia,
membuat dia dermawan. Karena keberanian jiwa dan kekuatan hatinya, ia rela
meninggalkan apa yang ia cintai dan membuatnya meninggalkan apa yang ia
inginkan. Maka kekuatan jiwa dan keberanian seseorang akan membuat dia
meninggalkan hal-hal buruk yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Nabi
kita Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ ،
إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Bukanlah orang kuat adalah orang yang kuat dalam
bergulat, akan tetapi orang kuat adalah yang mampu menahan dirinya ketika
marah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Apakah orang berilmu
lebih mulia dari orang yang berakhlak?
Salah satu aspek penting
yang mendapat perhatian utama dalam Islam adalah akhlak. Islam memang
memuliakan orang-orang yang berilmu, bahkan mewajibkan semua penganut ajaran
Islam untuk menuntut ilmu seperti disampaikan dalam hadis yang diriwayatkan
dari Ibnu Majah; “Menuntut ilmu wajib hukumnya bagi setiap Muslim (baik
perempuan maupun laki-laki),” namun Islam juga mensyaratkan akhlak untuk
kesempurnaan ilmu.
Dalam Syarhul Hilyah Fii
Thalabul Ilmi, syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan, orang yang
menuntut ilmu wajib menghiasi dirinya dengan akhlak, sebab tanpa akhlak, ilmu
yang didapat tak akan memiliki faedah sama sekali. Kepandaian dalam bidang
keilmuan tertentu tak akan bisa memberi manfaat secara maksimal jika tak
diiringi dengan akhlak yang mulia, sebab akhlak adalah ruh utama untuk
kebermanfaatan ilmu.
Para ulama jaman dahulu
terbiasa mendahulukan dan memberi porsi lebih untuk belajar akhlak daripada
ilmu. Salah satunya adalah Abdullah bin Mubarak yang bertutur dalam
Ghayatun-Nihayah fi Thobaqotil Qurro, “Saya mempelajari adab selama tiga puluh Tahun
dan saya mempelajari ilmu (agama) selama dua puluh Tahun, dan mereka (para
ulama) memulai pelajaran mereka dengan mempelajari adab terlebih dahulu
kemudian baru ilmu.”
Begitu pentingnya akhlak
dalam Islam hingga Rasulullah Muhammad menyebut dirinya diutus Allah bukan
untuk tujuan lain selain untuk menyempurnakan akhlak. Dengan begitu, akhlak
seharusnya tetap digunakan sebagai pijakan utama bagi setiap Muslim dalam
melakukan berbagai hal, baik yang terkait dengan dirinya sendiri maupun dengan
orang lain.
Dilihat dari fungsinya,
akhlak adalah pembeda untuk pintar dan benar. Orang yang berilmu tentulah
pintar, namun jika tidak melengkapi dirinya dengan akhlak, maka tak ada jaminan
kepintaran yang dimilikinya mampu mengantarkan pada kebenaran.
Sekalipun orang tersebut
mengaku sebagai ulama, namun jika akhlak yang ditampilkan tercela, maka tak ada
kebenaran yang bersemayam di setiap wejangan yang disampaikan. Akhlak juga berfungsi
sebagai benteng yang melindungi orang berilmu dari berbagai macam godaan.
Sebab, orang berilmu tak akan pernah lepas dari godaan. Salah satu yang paling
sering menghantui adalah kesombongan. Orang yang berilmu cenderung mengira
dirinya sudah tahu segala, merasa kebenaran hanyalah apa yang keluar dari
mulutnya.
Tanpa akhlak, orang berilmu hanya akan menjadi
hantu. Yang berarti tak jelas wujud dan manfaatnya. "Padahal akhlak itu
sangatlah sederhana, berbuat baik kepada orang lain, menghindari sesuatu yang
dapat menyakitinya (baik fisik maupun hati) dan menahan diri ketika
disakiti" (Madarijus Salikin II/318-319).
Karenanya, selalu
lengkapi diri kita dengan akhlak, sebab hanya dengan cara itu, ilmu yang kita
miliki dapat memberi kebaikan untuk diri sendiri dan orang lain.
Jadikan pula akhlak
sebagai ukuran dalam menilai keilmuan seseorang, jangan sampai kita terperosok
dalam lubang kelam akibat salah memilih panutan. Jika ilmu adalah cahaya, maka
akhlaklah penyempurnaannya.
Jadi kesimpulan yang dapat
kita tarik adalah, bahwa orang yang berilmu tanpa menyempurnakan akhlaknya
adalah suatu hal yang percuma. Dengan akhlak yang tidak baik ilmu kita tidak
akan bermanfaat bagi orang lain. Kita hanya akan mementingkan diri sendiri
tanpa memperdulikan orang lain. Padahal Allah SWT sangat membenci manusia yang
memiliki sifat yang takabur atau sombong karena memiliki ilmu. Maka dari itu,
kita sebagai umat Islam yang berakal hendaknya kita menyempurnakan akhlak kita
agar ilmu yang kita punya tidak sia-sia dan bermanfaat bagi orang lain. Tidak
masalah apabila ilmu kita masih dangkal tapi akhlak kita baik, Insya Allah ,
kita akan selalu dilindungi oleh Allah SWT dari segala macam fitnah, nafsu
setan, maupun nafsu dari dalam diri kita sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar