MAKALAH
PGRI PADA
MASA DEMOKRASI LIBERIAL (1950-1959)
KELOMPOK :
1.
MEYLANA DWI SITAWATI (201743501767)
2.
SITI NUR ISNANIYAH (201743501768)
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur ke
hadirat Tuhan YME dan dengan rahmat dan karunianya, Makalah PGRI Pada Masa
Demokrasi Liberial ini dapat kami buat sebagai tugas kami. Sebagai bahan
pembelajaran kami dengan harapan dapat di terima dan di pahami secara bersama.
Makalah ini diajukan guna memenuhi
tugas mata Kuliah Sejarah Perjuangan Dan Jati Diri PGRI Kami mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya..
Akhirnya kami dengan kerendahan hati
meminta maaf jika terdapat kesalahan dalam penulisan atau penguraian Makalah
kami Dengan Harapan dapat di terima oleh bapak dan dapat di jadikan sebagai
acuan dalam proses pembelajaran kami.
Disususn
oleh
Kelompok
1
DAFTAR
ISI
Kata
Pengantar :
................................................................................................
i
Daftar
isi :
...............................................................................................
ii
MATERI
BAB
I
PENDAHULUAN :
............................................................................................... 1
BAB II
PEMBAHASAN
1
A.
Gerakan Guru Pada Masa Perjuangan :
............................................................. 2
B.
PGRI
Pada Masa Demokrasi :
...................................................................... 2
1.
Kongres V PGRI di Bandung 19-24 Desember 1950:........................................
3
2.
Kongres VI PGRI di Malang 24-30 November 1952:
..................................... 3
3.
Kongres VII PGRI di
Semarang 24 November s/d 1 Desember 1954: ............. 4
4.
Kongres VIII PGRI di Bandung 1956 :
............................................................ 5
5.
Kongres
IX PGRI 31 Oktober – 4 November di Surabaya 1959 :
.................... 5
BAB
III
A. PENUTUP
:
.................................................................................
6
B. DAFTAR
PUSTAKA :
.................................................................................
7
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Di dalam kebudayaan bangsa Indonesia, profesi guru
mempunyai kedudukan paling tinggi dan dihormati oleh masyarakat. Masyarakat
jawa mengenal ungkapan “guru, ratu, wong tuwo karo” artinya adalah taatilah
pertama-tama gurumu, lalu rajamu, kemudian kedua orang tuamu. Penghargaan guru
tersebut juga terjadi pada masa kolonial, dimana status profesi guru mempunyai
kedudukan yang terhormat karena itu guru dihargai oleh masyarakat. Mereka
dianggap panutan masyarakat, pemimpin masyarakat, dipanggil ndoro guru dengan
status ekonomi yang cukup tinggi. Pada masa kolonial, memang status profesi
guru relatif tinggi.
Pada masa penjajahan Jepang, sang guru mendapat
kehormatan dengan julukan “Sensei” yang sesuai dengan kebudayaan Jepang dimana
guru mempunyai kedudukan sosial yang sangat dihormati. Selanjutnya pada masa
pasca kemerdekaan sekitar tahun 1950-an, profesi guru pernah menjadi
dambaanorang. Dalam berbagai daerah, ambil contoh di kawasan Indonesia Timur,
yang dicari adalah pegawai negeri atau guru.
Dengan perkembangan jaman dan pola fikir masyarakat,
terjadilah pergeseran anggapan tentang guru, berkaitan dengan perkembangan
ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat. Profesi guru bukanlah merupakan pilihan
utama dan bergensi, bahkan status profesi guru lebih rendah dibandingkan dengan
profesi lain seperti dokter, hakim, teknisi, dan bahkan buruh sekalipun.
Profesi guru semakin terpuruk, khususnya guru Sekolah Dasar (SD) yang terkesan
“terbelakang” kesejahteraannya. Padahal keprofesian guru menuntut kecakapan dan
usaha intelektual yang tinggi, serta pendidikan formal yang cukup tinggi.
Selain itu, Guru juga mempunyai peranan penting di
dalam memperjuangkan dan merebut kemerdekaan. Namun tidak banyak orang yang
mengetahui hal tersebut. Oleh sebab itu, makalah ini di tulis untuk menjelaskan
bagaimana pentingnya tokoh seorang guru dan seberapa besarnya peranan guru di
dalam berjuang melawan penjajah.
A.
Gerakan Guru pada Masa
Perjuangan Kemerdekaan
Semagat nasionalisme sudah
lama tumbuh di kalangan guru semenjak lahirnya kesadaran berorganisasi,
kesadaran perjuangan nasional, kesadaran untuk menuntutpersamaan hak dan posisi
dengan pihak belanda.
Usaha perjuangan nasib dan posisi guru berjalan terus. Hasilnya antara lain adalah kepala HIS yang dahuli selalu dipegang oleh orang belanda, satu persatu pindah ke tangan bangsa indonesia. Perjuangan ini akhirnya memuncak pada kesadaran dan cita – cita kemerdekaan bukan sekedar nasib belaka.
Pada tahun 1032 nama PGHB diganti dengan PGI (Persatuan Guru Indonesia). Pergantian nam “Hindia Belanda” dengan “indonesia”Dalam nama organisasi ini mengejutkan Belanda,karena nama Indonesia termasuk yang paling tidak desenangi oleh penjajah Belanda karena mencerminkan tumbuhnya semangat Nasionalisme.
Perang dunia 2 pecah pada tahun 1939. Setahun kemudian, negri Belanda diduduki tentara Jepang. Pada tahun 1941 semua guru laki-laki Belanda ditugaskan menjadi milisi, untuk mengatasi kekurangan guru di Indonesia. Pada zaman kedudukan Jepang keadaan berubah segala organisasi dilarang, sekolah ditutup. Segala kegiatan pendidikan dan politik membeku. Barulah menjelang Jepang takluk kepada tentara sekutu, sekolah dibuka kembali.
Usaha perjuangan nasib dan posisi guru berjalan terus. Hasilnya antara lain adalah kepala HIS yang dahuli selalu dipegang oleh orang belanda, satu persatu pindah ke tangan bangsa indonesia. Perjuangan ini akhirnya memuncak pada kesadaran dan cita – cita kemerdekaan bukan sekedar nasib belaka.
Pada tahun 1032 nama PGHB diganti dengan PGI (Persatuan Guru Indonesia). Pergantian nam “Hindia Belanda” dengan “indonesia”Dalam nama organisasi ini mengejutkan Belanda,karena nama Indonesia termasuk yang paling tidak desenangi oleh penjajah Belanda karena mencerminkan tumbuhnya semangat Nasionalisme.
Perang dunia 2 pecah pada tahun 1939. Setahun kemudian, negri Belanda diduduki tentara Jepang. Pada tahun 1941 semua guru laki-laki Belanda ditugaskan menjadi milisi, untuk mengatasi kekurangan guru di Indonesia. Pada zaman kedudukan Jepang keadaan berubah segala organisasi dilarang, sekolah ditutup. Segala kegiatan pendidikan dan politik membeku. Barulah menjelang Jepang takluk kepada tentara sekutu, sekolah dibuka kembali.
B. . PGRI pada Masa Demokrasi Liberal (1950-1959)
1.
Kongkres IV PGRI di Yogyakarta 26-28 Februari 1950
Presiden RI memuji PGRI yang menurut
pendapatnya tidakbisa lain dari pada pencerminan semangat juang para guru
sebagai pendidik rakyat dan bangsa. Oleh karena itu, Presiden RI menganjurkan
untuk mempertahankannama,bentuk,maksud,tujuan,dan cita – cita PGRI sesuai dengan
kehendak dan tekad para pendirinya.
Kongkres IV PGRI dihadiri beberapa utusan dari luar-luar “daerah Renville”, yaitu: Sukabumi, Cianjur, Tasikmalaya, bahkan dari Sumatra, yaitu: Sigli, Bukit tinggi, dan Lampung. Pengurus pusat SGI di Bandung datang pada kongkres IV di Yogyakarta untuk secara resmi menggabungkan diri kedalam PGRI dengan menyerahkan 38 cabang. Delegasi SGI terdiri atas, Jaman Soejanaprawira, Djoesar Kartasubrata, M.Husein, Wirasoepena, Omo Adimiharja, Sukarna Prawira, dan Anwar Sanusi. RIS diakui oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1949.
Kembalinya kongkres IV PB PGRI berada di Jakarta segera berkantor diruangan SMA Negeri 1 Jakarta di Jln. Budi Utomo. Pada akhir February 1950 sebanyak 30 cabang SGI diseluruh Negara menyatakan memisahkan diri dari SGI kemudian masuk PGRI. Yaman Soejanaprawira (KPI Jawatan PP dan K), M.Husein dkk berjasa sekali. Pada tahun 1950 pemerintah RI mengeluarkan PP No. 16/1950, sangat menguntungkan para guru, namun pelaksanaan penyesuaian gaji ternyata disana-sini berjalan serat. Kegembiraan menyambut keluarnya PP 16/1950 segera berbalik menjadi kekesalan dan keresahan, terutama dikalangan guru di Jawa Barat. Guru-guru diJawa Barat mengancam untuk mengadakan pemogokan, menurut rencana dimulai pada 12 Juni 1950 pukul 10.00 pagi. Usaha ini berhasil, akhirnya disetujui pemerintah. Hal ini mengokohkan wibawa PGRI dibuktikan dengan lancarnya PP No. 32/1950 tentang penghargaan kepada pelajar pejuang.
Kongkres IV PGRI dihadiri beberapa utusan dari luar-luar “daerah Renville”, yaitu: Sukabumi, Cianjur, Tasikmalaya, bahkan dari Sumatra, yaitu: Sigli, Bukit tinggi, dan Lampung. Pengurus pusat SGI di Bandung datang pada kongkres IV di Yogyakarta untuk secara resmi menggabungkan diri kedalam PGRI dengan menyerahkan 38 cabang. Delegasi SGI terdiri atas, Jaman Soejanaprawira, Djoesar Kartasubrata, M.Husein, Wirasoepena, Omo Adimiharja, Sukarna Prawira, dan Anwar Sanusi. RIS diakui oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1949.
Kembalinya kongkres IV PB PGRI berada di Jakarta segera berkantor diruangan SMA Negeri 1 Jakarta di Jln. Budi Utomo. Pada akhir February 1950 sebanyak 30 cabang SGI diseluruh Negara menyatakan memisahkan diri dari SGI kemudian masuk PGRI. Yaman Soejanaprawira (KPI Jawatan PP dan K), M.Husein dkk berjasa sekali. Pada tahun 1950 pemerintah RI mengeluarkan PP No. 16/1950, sangat menguntungkan para guru, namun pelaksanaan penyesuaian gaji ternyata disana-sini berjalan serat. Kegembiraan menyambut keluarnya PP 16/1950 segera berbalik menjadi kekesalan dan keresahan, terutama dikalangan guru di Jawa Barat. Guru-guru diJawa Barat mengancam untuk mengadakan pemogokan, menurut rencana dimulai pada 12 Juni 1950 pukul 10.00 pagi. Usaha ini berhasil, akhirnya disetujui pemerintah. Hal ini mengokohkan wibawa PGRI dibuktikan dengan lancarnya PP No. 32/1950 tentang penghargaan kepada pelajar pejuang.
2. Kongres V PGRI di Bandung
19-24 Desember 1950
Acara pun lebih
bervariasi karena dalam kongres ini bicarakan suatu masalah yang prinsipil dan
faundamental bagi kehidupan dan perkembangan PGRI selanhutnya, yaitu asas
organisasi ini : apakah akan memilih sosialisme keadilan sosial atau pancasila
akhirnya pancasila menjadi asas organisasi
Kongres V merupakan “Kongres Persatuan”. Kongres dihadiri oleh perwakilan luar negeri yang ada diJakarta. Rapat diadakan dipusat kebudayaan Jln. Naripan, kongres ini membicarakan suatu masalah yang prinsipil dan fundamental bagi kehidupan dan perkembangan PGRI yaitu asas organisasi akankah memilih sosialisme keadilan sosial ataukah pancasila. Akhirnya, pancasila diterima sebagai asas organisasi. Sejak kongres V mulai nyata daerah dibentuk beserta susunan pengurusnya konferda mulai dilaksanakan. Mulanya konferda dilaksanakan di Cirebon, Solo, Jember pada Maret 1951, selanjutnya konferda meluas ke pulau lainnya, tanggal 27 Februari 1952 di Makassar dan 20 maret 1952 di Banjarmasin. Hasil nyata dari konsolidasi ialah masuknya 47 cabang di Sulawesi dan Kalimantan kedalam barisan PGRI.
Kongres V merupakan “Kongres Persatuan”. Kongres dihadiri oleh perwakilan luar negeri yang ada diJakarta. Rapat diadakan dipusat kebudayaan Jln. Naripan, kongres ini membicarakan suatu masalah yang prinsipil dan fundamental bagi kehidupan dan perkembangan PGRI yaitu asas organisasi akankah memilih sosialisme keadilan sosial ataukah pancasila. Akhirnya, pancasila diterima sebagai asas organisasi. Sejak kongres V mulai nyata daerah dibentuk beserta susunan pengurusnya konferda mulai dilaksanakan. Mulanya konferda dilaksanakan di Cirebon, Solo, Jember pada Maret 1951, selanjutnya konferda meluas ke pulau lainnya, tanggal 27 Februari 1952 di Makassar dan 20 maret 1952 di Banjarmasin. Hasil nyata dari konsolidasi ialah masuknya 47 cabang di Sulawesi dan Kalimantan kedalam barisan PGRI.
3. Kongres VI PGRI di Malang
24-30 November 1952
Kongres menyepakati
beberapa keputusan panting. Dalam bidang organisasi, menetapakan asas PGRI
ialah keadilan social dan dasarnya ialah demokrasi, PGRI tetap dalam GSBI.
Dalam bidang pemburuhan memperjuangkan kendaraan bagi pemilik sekolah,
intruktur penjas, dan pendidikan masyarakat. Dalam bidang pendidikan:
1) System pengajaran diselaraskan dengan kebutuhan Negara pada masa pembangunan.
2) KPKPKB dihapuskan pada akhir tahun pelajaran.
3) KPKB ditiadakan diubah menjadi SR 6 th
4) Kursus B-I/B-II untuk pengadaan guru SLTP dan SLTA diatur sebaik-baiknya.
5) Diadakan Hari Pendidikan Nasional.
1) System pengajaran diselaraskan dengan kebutuhan Negara pada masa pembangunan.
2) KPKPKB dihapuskan pada akhir tahun pelajaran.
3) KPKB ditiadakan diubah menjadi SR 6 th
4) Kursus B-I/B-II untuk pengadaan guru SLTP dan SLTA diatur sebaik-baiknya.
5) Diadakan Hari Pendidikan Nasional.
4. Kongres VII PGRI di Semarang
24 November s/d 1 Desember 1954
Kongres ini dihadiri
639 orang utusan. Pelaksanan rapat bertempat di aula SMA B Candi Semarang.
Untuk pertama kalinya kongres PGRI dihadiri oleh tamu-tamu dari luar negeri
Maria Marchant wakil FISE di Paris, Marcelino Bautista dari PPTA (Filipina)
wakil WOTOP, Fan Ming, Chang Chao, dan Shen Pei Yung dari SBP RRC, dan Jung
Singh dari organisasi guru Malaysia. Dibicarakan pula masalah pendidikan agama.
Hasil kongres ini antara lain:
Bidang Umum : Pernyataan mengenai Irian Barat, pernyataan mengenai korupsi, resolusi mengenai desentralisasi sekolah, resolusi mengenai pemakaian keuangan oleh kementrian PP dan K, dan resolusi mengenai penyempurnaan cara kerja kementrian PP dan K.
Bidang Pendidikan : Resolusi mengenai anggaran belanja PP dan K yang harus mencapai 25% dari seluruh anggaran belanja Negara, resolusi mengenai UU sekolah rakyat dan UU kewajiban belanja, resolusimengenai film, gambar, tektur, serta radio dan pembentukan dewan bahasa nasional.
Bidang Pemburuhan : UU pokok kepegawaian, peleksanan peraturan gaji, pegawai baru, tunjangan khusus bagi pegawai yang tugas di daerah yang tidak aman, ongkos perjalanan cuti besar, Guru SR dinyatakan sebagai pegawai negri tetap, dan penyelesaian kepegawaian.
Bidang Organisasi : Pernyataan PGRI untuk keluar dari GBSI dan menyatakan diri sebagai organisasi “Non-Vaksentral”.
Hasil kongres ini antara lain:
Bidang Umum : Pernyataan mengenai Irian Barat, pernyataan mengenai korupsi, resolusi mengenai desentralisasi sekolah, resolusi mengenai pemakaian keuangan oleh kementrian PP dan K, dan resolusi mengenai penyempurnaan cara kerja kementrian PP dan K.
Bidang Pendidikan : Resolusi mengenai anggaran belanja PP dan K yang harus mencapai 25% dari seluruh anggaran belanja Negara, resolusi mengenai UU sekolah rakyat dan UU kewajiban belanja, resolusimengenai film, gambar, tektur, serta radio dan pembentukan dewan bahasa nasional.
Bidang Pemburuhan : UU pokok kepegawaian, peleksanan peraturan gaji, pegawai baru, tunjangan khusus bagi pegawai yang tugas di daerah yang tidak aman, ongkos perjalanan cuti besar, Guru SR dinyatakan sebagai pegawai negri tetap, dan penyelesaian kepegawaian.
Bidang Organisasi : Pernyataan PGRI untuk keluar dari GBSI dan menyatakan diri sebagai organisasi “Non-Vaksentral”.
5. Kongres VIII PGRI di Bandung
1956
Kongres dihadiri
hampir seluruh cabang PGRI di Indonesia. Suasana kongres mulanya meriah,tetapi
waktu diadakan pemilihan ketua umum keadaan menjadi tegang. Pihak Soebandri
menambah kartu palsu. Sehingga pemilihan terpaksa dibatalkan. Otak pemalsuan
Hermanu Adi seorang tokoh PKI Jatim, yang menjabat ketua II PGRI. Walaupun M.E
Subiadinata dihalangi secara curang akhirnya ia terpilih menjadi ketua Umum
mengantikan Sudjono. Ketua II PGRI digantikan M.Husein.
Jumlah anggota PGRI meningkat setelah diadakan konsolidasi dengan cara:
1) Kunjungan kecabang-cabang
2) Korespondensi PB PGRI dengan cabang lebih diintensifikasi
3) Tindakan-tindakan disiplin dilakukan kepada cabang yang tidak disiplin diberikan peringatan seperlunya
4) Dilakukan pembekuan terhadap pengurus cabang PGRI Palembang karena tindakan indisipliner terhadap komisariat daerah
Keterlibatan PGRI dalam symposium BMN Denpasar Bali (Juli 1957) mendapat penghargaan dan perhatian masyarakat.
Pokok-pokok bahasan:
a) Pendidikan sebagai pewaris nilai budaya
b) Perlu adanya Indonesianisasi
c) Aspek kebudayaan agar dilegalisasikan dalam UUD
Masalah cukup serius mendapatkan perhatian diantaranya tentang:
1) Dimasukannya pencak silat dalam pendidikan jasmani
2) Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah dalam dunia pendidikan dan masyarakat
3) Uang alat/perlengkapan sekolah dan pakaian belajar
Jumlah anggota PGRI meningkat setelah diadakan konsolidasi dengan cara:
1) Kunjungan kecabang-cabang
2) Korespondensi PB PGRI dengan cabang lebih diintensifikasi
3) Tindakan-tindakan disiplin dilakukan kepada cabang yang tidak disiplin diberikan peringatan seperlunya
4) Dilakukan pembekuan terhadap pengurus cabang PGRI Palembang karena tindakan indisipliner terhadap komisariat daerah
Keterlibatan PGRI dalam symposium BMN Denpasar Bali (Juli 1957) mendapat penghargaan dan perhatian masyarakat.
Pokok-pokok bahasan:
a) Pendidikan sebagai pewaris nilai budaya
b) Perlu adanya Indonesianisasi
c) Aspek kebudayaan agar dilegalisasikan dalam UUD
Masalah cukup serius mendapatkan perhatian diantaranya tentang:
1) Dimasukannya pencak silat dalam pendidikan jasmani
2) Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah dalam dunia pendidikan dan masyarakat
3) Uang alat/perlengkapan sekolah dan pakaian belajar
6. Kongres
IX PGRI 31 Oktober – 4 November di Surabaya 1959.
Pada kongres IX di Surabaya bulan oktober /November 1959,
soebandri dkk melancarkan politik adudomba diantara para kongres, terutama pada
waktu pemilihan Ketua Umum.Usaha tersebut tidak berhasil, ME.Sugiadinata
terpilih lagi sebagai Ketua Umum BP PGRI.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Peranan guru setelah
kemerdekaan sudah tidak diisi lagi dengan perjuangan fisik mengangkat senjata, tetapi diisi melalui
bidang pendidikan.
2. Guru yang dulunya belum
sepenuhnya dianggap sebagai profesi akhirnya diakui sebagai profesi dengan
adanya pencanangan guru sebagai profesi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
pada tanggal 2 Desember 2004.
3. Guru tidak sekedar
menjalankan tugas, namun harus memberikan yang terbaik bagi dunia pendidikan di
tanah air (menjadi guru yang kreatif, berwawasan, professional, bermoral,
kompeten dan pendorong perubahan).
DAFTAR PUSTAKA
http://adheirma309.blogspot.com/2014/05/makalahku.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar